
“Aku akan tetap menunggumu malam ini, Sayang,” pesan singkat terkirim dari telepon selularku untuknya.
“For you, My Dear. Hanya untukmu,” bisikku.
Detik demi detik berlalu, ia tak kunjung tiba. Menit demi menit berlalu, ia tak kunjung tiba. Jam demi jam berlalu, masih tak ada pertanda kehadirannya. Sampai akhirnya, pukul 12 malam. Hari telah berganti. Hari ini, Minggu 14 Februari 2010.
Masih teringat di benakku, Valentine pertama kita. Aku yang resah karena kue coklatku yang rasanya tak karuan. Ia tetap memakannya dan terlihat mulutnya membentuk senyuman yang lucu. Aku yakin di dalam hatiku, rasa kue itu sungguh sangat aneh.
Tak sadar tawa kecil keluar dari mulutku. Kulihat jam di tanganku. Ia tak juga datang. Pikirku pun melayang ke Valentine beberapa tahun yang lalu. Waktu itu,kami bertengkar hebat. Ia merasa tak mampu bersaing dengan pria-pria lain di sekitarku. Kucoba menelponnya berkali-kali. Sampai akhirnya setelah lebih dari dua puluh kali ia mengangkatnya dengan suara parau. Menyesal dan kemudian minta maaf.
Kini, hari telah berganti. Ia tak kunjung tiba. Sudah saatnya kuakhiri penantian hari ini.
“Happy Valentine’s Day, Sayang,” bisikku.
Mulai malam itu, penantian di pukul setengah tujuh malam menjadi semacam ritual sebelum berangkat ke peraduan. Dalam hatiku aku yakin, suatu hari nanti ia akan datang. Yang harus kulakukan hanya menunggu dan terus menunggu.
“For you, My Dear. Hanya untukmu,” bisikku.
---------
Malam ini, sama seperti malam itu dan malam-malam lain dalam hidupku, aku melangkahkan kaki ke teras depan. Tepat pukul setengah tujuh, penantian pun dimulai. Kutunggu dan kutunggu.
Kupatut diriku di kaca jendela. Ada yang berbeda di sana. Kulit ini terlihat kusam dan kendur. Rambut ini tidak sehitam dulu. Wajah ini terlihat sangat letih. Tanpa kusadari, senyuman lirih menghiasi wajahku.
“For you, My Dear. Hanya untukmu,” bisikku.
Pikirku pun kembali ke Valentine terakhir kami bersama. Minggu itu hujan mengguyur kota tanpa henti. Hasilnya, kami berdua terkena sakit flu sehingga nyaris tak bertemu.
Tak kusangka ia tetap datang ke rumahku. Sebungkus sup hangat menjadi kado Valentine untukku. Dan, meskipun tak kuasa menahan bersin dan batuk, kami berdua menghabiskan waktu di depan perapian ditemani secangkir teh hangat dan selimut tebal.
Tepat jam 12 malam, penantianku pun berakhir. Hendak kulangkahkan kaki lelah ini ke dalam rumah ketika aku berubah pikiran. Aku akan menunggu sebentar lagi. Menunggu, menunggu, dan menunggu sampai akhirnya mataku terpejam.
“Happy Valentine’s Day, Sayang,” suara seorang lelaki yang sudah sangat kukenal mengagetkanku.
Kubuka mata terpejam ini. Hari sudah begitu terang. Senyumannya pun menghiasi pagi hariku. Tangan kanannya menggenggam sekuntum mawar yang kemudian diberikannya padaku.
“For you, My Dear. Hanya untukmu,” bisiknya.
Senyumanpun menghiasi wajahku. Tubuh ini terasa ringan. Rasa letih pun terasa hilang. Hanya ada perasaan bahagia dan cinta.
“Happy Valentine’s Day, Sayang,” ujarku.
-------------
Epilogue:
“Rasanya aneh melihatnya tak ada di sana lagi. Sudah bertahun-tahun ia duduk di teras itu. Yang terakhir kuingat dari orang tua itu adalah wajahnya saat kutemukan pagi ini. Bagaikan tertidur pulas dan bermimpi indah. Dengan senyuman yang menyiratkan kebahagiaan. Selamat jalan, Nek. Berbahagialah di sisinya…”
0 comments:
Post a Comment