
‘Waduh gawat,’ pikirku dalam hati. ‘Kabur… enggak… kabur… enggak…’ sejuta rasa bimbang mengusik hatiku mengingat kalaupun tidak melarikan diri, kemungkinan untuk tidak terkontaminasi virus zombie ini sangat kecil.
Kuambil telepon seluler yang tergeletak di atas meja dan secepat mungkin jempolku menari di atas huruf-hurufnya. Tak sampai satu menitpun pesanku yang berbunyi “Kabur atau enggak nih?” terpampang di halaman awal Twitterku.
Detik pertama, detik kedua, detik ketiga pun berlalu tanpa balasan. Sepertinya zombie-zombie itu sudah dekat. Aku dapat mendengar suara-suara geraman mengerikan disertai beberapa jeritan dari luar kamar. Yah, nampaknya saat ini Twitter tak ada gunanya. ‘Gotta do it yaself now, gal!’ ujarku dalam hati.
Dengan semangat Do It Yourself yang membara kulayangkan pandangan ke sekeliling kamar. Mataku tertuju ke sebuah shotgun yang terletak di bawah bantal. Tidak tahu sama sekali milik siapa atau siapa yang meletakkannya di sana, kuambil barang itu sambil berharap bahwa benda aneh itu dapat digunakan.
Tidak jauh dari shotgun itu terdapat sebuah senter yang entah kenapa seolah disediakan untuk kejadian-kejadian tak terduga. Mengingat keberadaan zombie di kota ini adalah salah satu dari kejadian tak terduga dalam hidupku, senter kemungkinan akan berguna… atau tidak… oh well, we’ll find out bout that later.
Kuambil jaket dan kacamata hitamku. ‘Mari kita memulai petualangan hari ini!’ ujarku seraya memasukkan sesendok gula ke dalam mulutku. Percaya atau tidak, gula dapat membuat seseorang bersemangat dan percayalah, dalam kasus ini, gula akan sangat membantu. Terutama ketika yang kau butuhkan adalah efek sugar rush yang membuatmu hyper.
“DIE DIE DIE!!!” teriakku seraya menembakkan isi senapan kepada zombie yang berada kira-kira beberapa meter menghalangi jalanku. Memang sih, teriakan itu agak sedikit berlebihan, tapi entah kenapa terlontar saja dari mulutku. Untungnya, kecepatan jalan zombie lebih lambat dari manusia. Satu, dua, tiga, empat, lima, sepuluh zombie berjatuhan.
Tak lama kemudian aku sampai ke sebuah café yang sudah ditinggalkan. Kulihat ke kanan dan ke kiri, sepi, sepertinya tempat ini cukup aman. Kakiku melangkah ke dalamnya dan mataku tertuju kepada sebuah televisi yang menyala menyiarkan berita mengenai kotaku yang sudah terinfeksi virus zombie 01. Entah orang iseng mana yang membuat virus berbahaya seperti ini tapi yang pasti orang itu harus dihukum mati. Atau diubah jadi zombie lalu ditembak sampai mati. Atau diubah jadi zombie, ditembak mati, lalu dimutilasi.
‘Pickup points!’ sekilas kubaca pesan pada subtitel yang tertuju untuk mereka yang terperangkap di Jakartazombieland ini. Tempat penjemputan area Tebet di Taman Kodok, sekitar beberapa blok dari tempatku berada kini. Masalahnya, untuk ke sana agak sedikit berbahaya mengingat daerahnya agak terbuka.
“Meong…” suara kucing mengejutkanku. Kulemparkan pandanganku ke asal suara dan lebih terkejut lagi. Tidak sembarang kucing yang berdiri beberapa meter di hadapanku. Kucing ini memiliki tubuh seperti manusia, dengan muka kucing, dan kacamata.
“Oh Great! Tadi Zombie, sekarang siluman kucing!” ujarku seraya menodongkan senapan ke arah siluman tersebut.
Siluman itu membuka mulutnya dan berkata “Adooohhh Miss Ti! Masa gak ngenalin gue siiiiihhh?!”
Suara yang familiar dan mengingatkanku pada seseorang. Bimbang sejenak karena bisa saja ini tipuan. Bisa saja siluman ini memanfaatkan suara familiar itu untuk melahapku hidup-hidup.
“Doh, Miss Ti, ini gue!!!” ujarnya. “Entah kenapa tadi pas bangun muka gue jadi begini. Udah gitu orang-orang pada jadi zombie gitu pula,” tambahnya.
“Udah ah Miss Ti. Terserah mo percaya apa nggak. Gue mo ke pickup points neh. Di belakang banyak banget zombienya. Takut ah…” katanya.
“Terus kalo elo bukan salah satu dari zombie itu, caralo ke sini dari Bogor gimana?” tanyaku masih tak percaya.
“Jadi gini ceritanya Miss Ti,” ia memulai ceritanya. “Yang kaya gue bilang tadi, pas bangun dah kaya gene muka gue. Terus pas gue keluar di rumah isinya zombie semua. Anehnya, pas gue keluar mereka gak ada yang berani ngedeketin gue. Ya udah, gue naek mobil aja soalnya tadi di tv katanya ada tempat penjemputan gitu di daerah sini,” ia melanjutkan.
“Beneran mereka gak ada yang deketin?” aku merasa aneh.
“Suwer deh Miss Ti! Gue juga heran gitu,” ujarnya lagi. “Tadi tuh pas lewat gue liat situ masuk sini. Karena kenal ya udah gue samperin. Tapi kok Miss Ti gak ikutan berubah yah? Padahal di sini kayanya udah semua gitu yang kena virus. Apa jangan-jangan Miss Ti malah rajanya zombie ya?” tambahnya.
“Ngasssaaaallll!!!” ujarku sambil menimpuknya dengan satu-satunya benda yang berada di tangan kiriku.
Senter melayang jauh melampaui kepala sang siluman kucing. Mendarat di atas tanah dan tiba-tiba menyala, menyoroti satu zombie yang tiba-tiba lewat. Si zombie yang tadinya melolong keras karena melihat kita berdua tiba-tiba menghilang dari pandangan.
Tanpa sadar kulangkahkan kaki ke tempat menghilangnya si zombie. Suara si kucing yang menyuruhku untuk tidak ke sana tak kuhiraukan. Rasa penasaran tak tertahan ini menguasai jiwaku.
Tiba-tiba jeritan si zombie terdengar lagi. Bedanya, suaranya sangat kecil. Seperti suara chipmunk dalam film. Kucari-cari suara itu dan ternyata berada di bawah kakiku. Si zombie berusaha menggigit sepatuku tetapi gagal karena tubuhnya mendadak jadi sangat kecil.
Sebuah cengiran muncul di wajahku. Kuangkat kakiku dan croooooottt satu zombie jahat pun menjadi rata dengan tanah. “OHOHOHOHOHOHO” tawaku tanpa belas kasih. “Senter ini ternyata sangat ajaib!” tambahku semakin senang.
“TIDAAAKKKKK!!!!” jeritan miris dari belakangku. Kutolehkan kepala ke arah si kucing.
“Zombiku sayaaannggg… Kau membunuhnya!!!” ujar si kucing. “Meong meong meong meong!” tambahnya dengan bahasa kucing yang kurang lebih artinya ‘Akan kubalas! Akan kubalas!’
Siluman kucing itu berlari ke arahku dengan muka marah. Dengan gesit, kuambil senter dan menyorotkannya ke arah si kucing. Tubuh si kucing mendadak menyusut. Semakin kecil dan semakin kecil hingga sebesar jempolku.
“Rasakan itu Thumbelicat!” ujarku puas. “Pilih mati atau memperbaiki keadaan ini?” imbuhku.
“Meong meong meong,” ujarnya lagi dengan bahasa kucing yang artinya kurang lebih ‘kita akan segera bertemu lagi!’ Seketika dari bawah terlihat kepulan asap dan poooofff siluman kucing pun menghilang.
---
Kupandang kota Jakarta dari atas helikopter menuju tempat penampungan. Hari telah menjelang malam ketika kami terbang melintasinya. Tidak ada gemerlap lampu dari bawah sana. Gelap, suram, seperti kota mati.
“Siluman kucing, kita akan segera bertemu lagi,” kataku pelan.
---
Epilogue:
Hari ini genap dua puluh delapan hari sejak kejadian itu. Kunyalakan TV dari bunker kota X dipinggiran Jakarta. Siaran berita kembali menayangkan situasi terkini tentang virus zombie 01.
"Setelah diadakan penelitian, para ahli biologi menyatakan bahwa virus zombie 01 merupakan hasil mutasi virus tokso yang berasal dari kucing," Najwa Shiaab melaporkan. "Konon, kucing penyebab virus ini sempat terlihat di reruntuhan kota Jakarta," lanjutnya.
Seketika layar televisiku menunjukkan gambar siluman kucing berkacamata yang diperbesar melalui satelit.
- THE END -
0 comments:
Post a Comment